
Senin, 26 Oktober 2020 Kantor Bahasa Banten mengadakan Diskusi Kelompok Terpumpun Media Massa se-Provinsi Banten Tahun 2020 di Hotel Puri Kayana Kota Serang. 35 media yang mewakili media cetak, daring, elektronik diundang untuk hadir menjadi peserta dari wartawan se-Provisni Banten.
Diskusi Kelompok Terpumpun Media massa merupakan kegiatan lanjutan dari Pengawasan dan Pengendalian Media massa. Kegiatan ini bertujuan untuk menyegarkan kembali ingatan wartawan tentang penggunaan bahasa Indonesia di media massa. Dalam kegiatan ini juga diberikan penghargaan kepada media massa terbina dengan tujuan mengapresiasi dan meningkatkan sikap positif Media terhadap bahasa indonesia.
Diskusi ini menghadirkan Dr. Fairul Zabadin dari Badan Pengembangan dan Pembinan Bahasa, Willy Pramudya dari Majelis Etik Asosiasi Jurnalis Indonesia, Dr. H. Abdul Malik dosen dan praktisi media dari Universitas Serang Raya. Ketiga narasumber membahas fenomena bahasa di media massa , ragam bahasa jurnalistik, dan penggunaan bahasa indonesia di media massa.
Menurut Dr. H. Abdul Malik dosen dan praktisi media dari Universitas Serang Raya, berdasarkan UU Pers No. 40 tahun 1999 tidak ada rincian khusus tentang kewajiban bagi para wartawan untuk mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun pada pasal 3 ayat 1 UU Pers No. 44 tahun 1999, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Nampaknya pada pasal tersebutlah media massa memiliki peranan penting dalam menyosialisasikan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Kesulitan dari beberapa media adalah pembiasaan, saat menulis dan harus konfirmasi ke kamus agak sulit, terutama media elektronik radio/audio. Karena pada radio, bahasa teks harus dialihkan ke bahasa tutur, ke bahasa keseharian dan memperhatikan segementasi. Secara pribadi, belum ada pedoman yang mengatur penuturan bagi media radio dari bahasa teks ke bahasa tutur” tanya Roni (DIA untirta)
“Kita memang tidak punya standar baku pelafalan, dulu ada TVRI dan RRI. Ketika sudah ditinggalkan, maka sudah ditinggalkan pula prestasinya. Namun di luar negeri ada BBC dan NHK karena BBC meski dibiayai negara namun independen. Revolusi muncul saat ada Desi Anwar, bahasa tetap terjaga walaupun berbeda dengan gaya RRI dan TVRI. Media memiliki dua wajah, wajah bisnis dan wajah budaya/sosial. Membuat masyarakat lebih pandai dan lebih bermartabat (wajah budaya/sosial). UU Pers dibuat supaya Pers dapat mengatur dunianya sendiri. Terkait dengan penggunaan bahasa, bila terdapat kesalahan, wartawan tidak akan masuk ke penjara, tapi akan diadili oleh Dewan Pers. Intinya kesalahan bahasa, tidak perlu diberikan hukuman fisik.” Jawab Bapak Willy Pramudya (Majelis Etik Asosiasi Jurnalis Indonesia)
Pertanyaan kedua pun dilontarkan oleh peserta lain “Di media TV khususnya, sama dengan radio, memiliki kesulitan dalam memilih kata yang tepat dan pelafalan terutama kata yang asing. Misalnya, kata bus, ada yang menyebut bis atau bes. Atau kata asing. Adakah dari Kantor Bahasa menggandeng media elektronik, tidak hanya menyebutkan kata-kata tapi juga pelafalannya. Kami mengapresiasi kegiatan saat ini karena menambah wawasan kami. Mungkin baiknya ke depan yang diundang redaktur atau redaktur pelaksana yang diundang karena mereka lebih memiliki wewenang.” tanya Lilik (Banten TV)
Pertanyaan lilik pun di jawab oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi Banten “Awalnya bahasa merupakan konvensi sosial, sehingga peraturan tentang bahasa tidak bisa memiliki sanksi. Pedoman yang menggunakan bahasa media audio sebetulnya produk badan bahasa seperti KBBI dapat diunduh atau diakses secara daring. Bahasa Indonesia memang belum memiliki bentuk pelafalan baku karena adanya faktor etnis. Penggunaan bahasa yang baik tergantung pada ragam bahasa apa yang digunakan, sementara bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai kaidah. Orang yang menggunakan bahasa yang baik adalah orang yang terdidik. Pada ranah tertentu, sangsi bisa diterapkan. Api saat ini hanya sangsi sosial saja yang bisa dilakukan. Mengapa harian umum yang besar bahasanya bagus? jawab Bapak Halimi Hadibrata, M.Pd. (Kepala Kantor Bahasa Provinsi Banten)
Pertanyaan berikutnya “Di UU bahasa, tidak ada sanksi dalam kesalahan penggunaan bahasa. Di dewan pers pun tidak ada ancaman pencabutan keanggotan dll. Ketika tidak ada ketegasan dan tidak memiliki hukuman, maka tidak akan ada kepedulian terkait hal itu.” tanya Qizink (Bantennews)
Pertanyaan pun di jawab oleh Bapak Dr. H. Abdul Malik (Dosen dan praktisi media dari Universitas Serang Raya) “Mengomentari soal sanksi, nampaknya tidak perlu ada sanksi, karena bahasa tidak bisa represif. Mencoba mendalami UU tentang Kebebasan Pers. Karena bahasa baku terlalu intimidatif. Tapi saya sepakat dengan Mas Willy bila bahasa itu harus bermartabat. Itu sebabnya harus ada intervensi negara terhadap hal ini. Negara wajib membuat klausul tertentu tentang penggunaan Uji Kemahiran Bahasa agar bersifat masif. Kantor Bahasa semoga tidak hanya menjalankan kegiatan di bulan bahasa, tapi juga mengedukasi masyarakat terkait penggunaan bahasa.” pungkasnya.
Peserta lainnya pun bertanya “Mengelola media sosial memiliki keterbatasan dalam mengelola konten karena merupakan media pemerintahan. Cara membuat masyarakat tertarik dengan media pemkot, kami mencoba membuat click bait dalam judul di IG. Tips memberikan informasi dalam konten sehingga bisa mempengaruhi secara postif kepada masyarakat, misal click bait menarik untuk bisa menarik masyarakat.” tanya Yulia (Kominfo Tangerang)
Tips dari Bapak Willy Pramudya (Majelis Etik Asosiasi Jurnalis Indonesia): Indonesia memiliki penyunting bahasa yang sedikit. Harian kompas, ada 23 penyunting, tapi keputusan akhir ada di redpel (redaktur pelaksana) dan pemred yang kadang tak ingin menggunakan kata baku. Tapi cobalah mengikuti UKBI dan capailah predikat sangat unggul sehingga Anda memiliki bukti kemampuan berbahasa Indonesia Anda.