Serang — Majalah Sastra Kandaga kali ini sengaja mengambil satu pokok diskusi sebagai tema yakni “pertemuan” antara sastra dan Islam. Mengapa harus tema ini yang kami pilih untuk mengisi Mastra Kandaga bulan Agustus? Ya, sastra Islam memang ada dan kerap dikenal sebagai sastra profetik di Indonesia. Beberapa nama semacam Hamzah Fansuri, Nurrudin Arraniri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah, Abdul Hadi WM, hingga Sutardji Calzoum Bachri pun tak luput disebut dalam perbincangan mengenai sastra Islam di Indonesia. Lebih dari itu, mengetahui titik tolak pertemuan antara sastra dan Islam pun
penting untuk diketahui oleh pembaca. Pada bulan Juni lalu, bertepatan dengan bulan Ramadan, Kantor Bahasa Banten mengadakan beberapa diskusi sastra bersama dengan komunitas sastra di Kota Serang. Salah satu diskusi yang menarik adalah diskusi “Sastra dan Sejarah dalam Perspektif Islam” yang diadakan di Gedung Aula Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Diskusi hasil kerjasama dengan komunitas Belistra Untirta ini menghasilkan wacanawacana mengenai pemikiran sastra dan Islam yang diapresiasi, tidak hanya oleh kalangan mahasiswa saja, melainkan juga penikmat sastra di Kota Serang dan Provinsi Banten. Dua esai dari Niduparas Erlang dan Adi Prasatyo yang ditampilkan di edisi kali ini merupakan esai dari diskusi tersebut. Perbincangan mengenai sastra dan Islam pun diharapkan bisa membuka perspektif baru mengenai kesusastraan, baik lama maupun modern di Provinsi Banten. Hal ini sangat mungkin dihubungkan karena agama Islam menjadi agama yang dominan di Provinsi Banten sehingga nilai islam menjadi semacam jalan hidup atau way of life bagi mayoritas masyarakat Banten. Sekali lagi, esai-esai mengenai sastra dan Islam dalam Mastra Kandaga kali ini masih
merupakan awalan menuju jalan lain yang lebih panjang untuk mengungkap kearifan lokal di Banten. Karya-karya dari para penulis, baik dari Banten maupun luar Banten masih menghiasi edisi kali ini. Salah satunya adalah rubrik Lingua yang ditulis oleh Salamet Wahedi. Disinggung oleh Salamet,
revolusi mental ternyata harus dimulai dari hal-hal sepele, pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar salah satunya. Harus diakui, bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa yang, bisa jadi, secara tidak sadar sedang diserang oleh penggunanya sendiri. Rubrik Lingua kali ini sekaligus
menggugah kesadaran kita terhadap bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa. Rubrik cerpen edisi kali ini diisi oleh dua penulis dari Tangerang: Mahwi Air Tawar dan Aksan Taqwin Embe. Hal yang unik adalah kedua penulis ini bukan penulis yang lahir atau bertumbuh dalam iklim kreatif di Provinsi Banten. Mahwi dibesarkan oleh iklim kreatif di Madura dan Jogjakarta, sementara Aksan memulai kiprah kepenulisannya di Tuban, Jawa Timur.
Dalam dua tiga tahun terakhir, dua cerpenis ini lebih banyak menghabiskan waktunya dan tinggal di Tangerang. Akhir kata, kami mengucapkan selamat
mengapresiasi karya-karya yang tayang pada Mastra Kandaga kali ini. Semoga iklim literasi dan kreativitas akan terus bergema di Provinsi Banten.