Oleh: Sakti Ramadhan dan Grisherra Valeryandra Duta Bahasa Provinsi Banten 2022 | Artikel Kebahasaan dan Kesastraan Duta Bahasa Provinsi Banten 2022 Artikel dapat diunduh di sini |
“Saya kira, orang-orang itu, yang mengenakan samir dan terus-terusan membicarakan tentang bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, hanyalah sekumpul orang yang terlalu banyak waktu luang!”
Kami mendengar tuturan yang mirip seperti di atas, berkali-kali sepanjang pelaksanaan kegiatan pembinaan bahasa pada ruang publik di Bandara Soekarno-Hatta, Kabupaten Tangerang. Masih teringat di kepala kami satu dari sekian kejadian itu, saat menghampiri sekumpulan pengunjung remaja di Terminal 3. Kami menanyakan pendapat mereka tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam pelayanan publik. Alih-alih menjawab, sekumpulan remaja itu justru balik bertanya untuk mengorek aktivitas kami sebagai Duta Bahasa.
Setelah kami mengenalkan diri di hadapan mereka, salah seorang melontarkan pertanyaan, “Duta Bahasa itu kerjanya ngapain, sih?” Meski wajah sang penanya tak mengekspresikan apa pun, hal tersebut cukup membuat kami senang mendapat pertanyaan itu. Momentum seperti inilah yang memberikan ruang bagi kami untuk mempromosikan apa itu Duta Bahasa dan apa saja yang dilakukan oleh Duta Bahasa. Dengan senang hati kami menjelaskan bahwa tugas Duta Bahasa adalah menegakkan Trigatra Bangun Bahasa yang terdiri dari pengutamaan bahasa Indonesia, pelestarian bahasa daerah, dan penguasaan bahasa asing. Salah satu implementasinya adalah melakukan pembinaan bahasa di ruang publik.
Sekumpulan remaja yang kami taksir berusia 16 tahun itu menanyakan lebih lanjut tentang pembinaan bahasa. Kami mengambil posisi duduk dekat mereka dan mulai menjabarkan dengan sederhana. Pembinaan bahasa adalah salah satu kegiatan yang dapat dilakukan oleh Duta Bahasa. Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam meski selalu memiliki tujuan yang sama, yaitu mengembangkan dan membina bahasa melalui Trigatra Bangun Bahasa.
Nampaknya, penjelasan dari kami makin memunculkan rasa penasaran sekumpulan remaja ini. Kami hanya berpikir bahwa keingintahuan mereka adalah
pintu masuk untuk menanamkan persepsi yang sama terkait pembinaan bahasa Indonesia di ruang publik. Sambil tersenyum, kami menjawab, pengutamaan bahasa Indonesia, secara sederhana, dapat diartikan sebagai upaya untuk lebih memilih mengutamakan bahasa Indonesia daripada bahasa asing. Indikator paling mudah untuk menilai hal tersebut adalah dengan memperhatikan ada tidaknya tuturan yang berupa campuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Pencampuran dua bahasa atau lebih ini disebut campur kode. Ternyata, campur kode di area bandara betul-betul menjadi hal yang lumrah. Terlebih, untuk penuturan istilah-istilah kebandaraan, seperti, check-in counter, lounge, take-off, landing, delay dan lainnya. Padahal, istilah kebandaraan tersebut sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, karena mayoritas penutur lebih memilih untuk menggunakan bahasa asing, tuturan bahasa asing terdengar lumrah dan justru tuturan bahasa Indonesia yang terdengar asing.
“Hal seperti inilah yang akan kami kampanyekan, tentang pengutamaan bahasa Indonesia lisan di ruang publik,” lanjut kami menjelaskan. Tentu saja, label internasional pada Bandara Soekarno-Hatta turut mendukung penggunaan bahasa asing yang universal. Namun, membangun persepsi yang sama tentang pentingnya pengutamaan bahasa negara di ruang publik juga harus digencarkan dengan harapan pengutamaan bahasa negara diterapkan dengan cara yang variatif. Sekumpulan remaja itu hanya mengangguk-angguk dan tersenyum sewajarnya. Kami bertanya ulang hal yang tadi mereka tolak, “Bagaimana pendapat kamu terkait pengutamaan bahasa Indonesia lisan di ruang publik?” Mereka menjawab, “Bagi saya, gak masalah jika harus ada bahasa asingnya. Yang penting saya ngerti apa yang diomongin”.
Itulah respons yang sering kami terima saat menjalankan pembinaan bahasa di ruang publik. Kami memahami bahwa dalam konteks komunikasi, bahasa yang digunakan cukup sampai pada indikator baik; antara penutur dan mitra tutur dapat memahami isi tuturan. Namun, upaya penggunaan bahasa Indonesia lisan perlu berkembang menjadi bahasa yang tak hanya baik, tetapi juga benar. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya menjaga marwah bangsa dalam hal kebahasaan, sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Masalah umum yang seringkali kami terima dalam upaya penerapan bahasa Indonesia lisan yang baik dan benar pada aspek komunikasi adalah kesan kekakuan bahasa yang digunakan untuk bertutur. Padahal, hal itu dapat dihindari dengan melihat indikator penerapan bahasa lisan yang baik dan benar. Indikator yang kami
simpulkan setelah melakukan observasi dan studi pustaka terkait penggunaan bahasa lisan yang baik dan benar sebagai berikut
- penggunaan bahasa Indonesia lisan yang sesuai konteks sebagai bentuk bahasa yang baik; dan
- penggunaan bahasa Indonesia lisan dengan diksi yang tepat dengan beracuan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dari kedua hal tersebut, fokus kami dalam mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia lisan yang baik dan benar dimulai dari pengutamaan bahasa Indonesia lisan yang sesuai dengan aturan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini ditengarai oleh fenomena kebahasaan yang terjadi di lingkungan kami, bahwa padanan bahasa Indonesia tidak lebih populer dari bahasa asing yang digunakan dalam tuturan sehari-hari.
Ketika kami melakukan kegiatan ini, setidaknya kami bertanya kepada responden tentang beberapa padanan kata bahasa Indonesia yang masih lazim disebutkan dalam bahasa asing, seperti, seafood, flashdisk, snack, dan handphone. Mulanya, mayoritas responden tidak tahu padanan bahasa Indonesia dari istilah asing tersebut. Kemudian, mereka menyusuri mesin pencari daring sebelum mereka dapat menjawab pertanyaan itu. Hal tersebut membuat mereka tercengang, karena akhirnya mereka mengetahui boga bahari adalah padanan kata dari seafood. Antusiasme mereka tidak berhenti sampai di sana. Kami bertanya kembali apa padanan kata untuk flashdisk. Mereka terus menyusur mesin pencari daring dan terkejut saat mengetahui bahwa diska lepas adalah padanannya. Mereka pun kembali tertawa.
Dari fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa kebiasaan bertutur menggunakan istilah asing menumbuhkan budaya campur kode menjadi hal yang lumrah. Campur kode memang memiliki sisi baik, salah satunya, menuntut penutur untuk mempelajari bahasa asing. Namun, di sisi lain, kebiasaan ini dapat mengikis keberadaan bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pembinaan pengutamaan bahasa Indonesia yang kami lakukan menitikberatkan pada definisi pengutamaan bahasa Indonesia lisan. Tentu saja, ketika hal ini dimulai, banyak pihak yang belum langsung bersepakat. Meskipun, bukan tidak mungkin hal itu dapat diwujudkan. Di sanalah peran kami sebagai Duta Bahasa sekaligus generasi muda untuk menggaungkan pengutamaan bahasa negara melalui program kerja yang dilakukan.
Upaya kami dalam pembinaan pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik tidak berhenti di sana. Upaya tersebut dilanjutkan dengan berkolaborasi bersama maskapai Garuda Indonesia sebagai kiblat layanan prima dalam pelayanan publik. Pihak maskapai Garuda Indonesia yang menyambut baik hal tersebut, memberikan kesempatan untuk melakukan pendampingan bagi petugas layanan pelanggan dan asisten layanan premium hingga pengajaran kepada awak kabin. Ketika melakukan pendampingan dan pengajaran respons peserta sangatlah baik. Mereka terkesan dan tergelitik ketika mendengar istilah-istilah kebandaraan dalam bahasa Indonesia. Terasa sangat asing di telinga, tetapi, menambah semangat mereka untuk mencari tahu lebih dalam padanan kata bahasa Indonesia pada istilah kebandaraan. Kami berharap, kegiatan pembinaan pengutamaan bahasa Indonesia ini dapat menciptakan sinergi yang baik demi mewujudkan pengutamaan bahasa negara di ruang publik khususnya Bandara Soekarno-Hatta.
Ini satu bukti nyata peran generasi muda sebagai pemegang aspek yang krusial dalam pemertahanan eksistensi dan keberlanjutan penggunaan bahasa negara sebagai salah satu komponen penyusun bangsa Indonesia. Peran ini dapat diibaratkan seperti akar pada tumbuhan. Apabila hilang akarnya, maka, hilang pula kehidupan tumbuhan itu. Pertanyaan yang perlu dimunculkan kepada diri sendiri adalah, apa kontribusi dan peran saya sebagai generasi muda untuk negeri? Generasi muda sebagai kelompok yang paling cerewet di media sosial memiliki kontribusi besar untuk memberikan pengaruh dalam dunia komunikasi di Indonesia. Dari kelebihan tersebut, generasi muda dapat mengambil kesempatan turut aktif menggaungkan pengutamaan bahasa negara agar istilah asing tidak lagi terdengar asli, dan istilah asli tidak lagi terdengar asing.